Jumat, 27 Juni 2014

BUKU PUISI EPIK SITI SURABAYA

Seluruh petualangan Siti Surabaya/Surabaya Siti, paling tidak segala verbal adventures-nya, masuk dalam food processor atau tabung jam pasir untuk diproses/digiling dan dilorot lorong-sempit-waktu, sehingga meneteskan hikmah. Dan hikmah tidak harus menunggu sampai simpulan di bait akhir, justru di tengah proses dan lorong sempit waktu hikmah itu menetes-netes sepanjang petualangan:
Siti Surabaya = Surabaya Siti (plesetan dari City), bisa kota bisa perempuan, bisa warisan bisa obralan, bisa pesta bisa kuburan. Siti dan City bertarung bertukar, seperti dalam kiasan wayang: mencolo putro mencolo putri, loncat sana loncat sini. Bajing loncat bukan sekadar kiasan kriminal tetapi juga kiasan dinamika manusia urban. Dan pilihan ke modernisme harus menanggung takdir anti-kemapanan, paradoksal, kontroversial, provokatif, subversive, atraktif. Sebagaimana wujud seni kontemporer: sebagai bentuk komentar sosial yang mengkonfrontasi publik dengan apa yang tidak mereka ketahui, atau dengan apa yang sebenarnya diketahui tetapi tidak mereka harapkan.

(Akhudiat, Penyair, Dramawan, Peserta Iowa International Writing Program Universitas Iowa, Iowa City, Amerika Serikat 1975)

Minggu, 02 Maret 2014

Poetry Slam

Beginilah cara saya membaca puisi dalam ajang Poetry Slam yang digelar Goethe Institut dalam rangka memeringati 10 Tahun Seri Puisi Jerman di Selasar Sunaryo Art Space Bandung, 18 Februari 2014.






Karya F. Aziz Manna
Generasi 90

mencintai cinta seperti tak menyintainya, memimpikan mimpi seperti tak memimpikannya, mengharap harapan seperti tak berharap, dan mereka datang seperti tak pernah datang

kami tumbuh di era 90, dimana pikiran digembalakan serbuk kapur, penggaris kayu panjang, dan papan tulis hitam, gunung, awan, burung, sawah, kelokan jalan, seragam, dunia memaksa kami melangkah pada jalan yang begitu susah, tangan pemberi dan pembeli tak ada bedanya, langkah pencari dan pencuri begitu kembar detaknya, mimpi jadi begitu buruk, dia yang bersinar dan menyimpan sejuta bayangan, harapan jadi layang-layang di tengah topan

mencintai cinta seperti tak menyintainya, memimpikan mimpi seperti tak memimpikannya, mengharap harapan seperti tak berharap, dan mereka datang seperti tak pernah datang




Paul Celan
Fuga Maut

Susu hitam dini hari kami reguk saat senja
kami reguk siang dan pagi kami reguk malam
kami reguk dan reguk
kami gali kuburan di udara di sana orang berbaring tak berdesak
Seorang laki tinggal di rumah ia bermain dengan ular ia menulis
ia menulis ke Jerman kala senja tiba rambutmu kencana Margarete
ia menulisnya dan berjalan ke luar
dan bintang berkelip ia bersuit memanggil herdernya
ia bersuit memanggil Yahudinya dan menyuruhnya menggali kuburan di tanah
ia perintah kami ayo mainkan irama dansa

Susu hitam dini hari kau kami reguk malam
kau kami reguk pagi dan siang kau kami reguk senja
kami reguk dan reguk
Seorang lelaki tinggal di rumah dan bermain dengan ular ia menulis
ia menulis ke Jerman kala senja tiba rambutmu kencana Margarete
Rambutmu kelabu Sulamith kami gali kuburan di udara
di sana orang berbaring tak berdesak

Ia menghardik yang sini sekop lebih dalam yang sana ayo bernyanyi dan bermusik
dihunusnya pentungan besi dari ikat pinggang dan dibabitkan matanya biru
yang sini sekop lebih dalam yang sana ayo teruskan irama dansa

Susu hitam dini hari kau kami reguk malam
kau kami reguk siang dan pagi kau kami reguk senja
kami reguk dan reguk
seorang lelaki tinggal di rumah rambutmu kencana Margarete
rambutmu kelabu Sulamith ia bermain dengan ular

Ia menghardik ayo mainkan maut lebih merdu
maut adalah maestro dari Jerman
ia menghardik gesek biola lebih kelam
maka membumbunglah kalian sebagai asap ke udara
dan kalian akan punya kuburan di awan di sana orang berbaring tak berdesak

Susu hitam dini hari kau kami reguk malam
kau kami reguk siang maut adalah maestro dari Jerman
kau kami reguk senja dan pagi kami reguk dan reguk
maut adalah maestro dari Jerman matanya biru
ia kenai kamu dengan timah peluru kenai kamu tepat sekali
seorang lelaki tinggal di rumah rambutmu kencana Margarete
ia suruh herdernya mengejar kami ia hadiahi kami kuburan di udara
ia bermain dengan ular dan bermimpi maut adalah maestro dari Jerman

rambutmu kencana Margarete
rambutmu kelabu Sulamith

Margarete = nama perempuan Jerman
Sulamith = nama perempuan Yahudi
Fuga = istilah musik. Teknik komposisi dengan tema pokok yang divariasi dengan tema-tema sampingan. Dalam bahasa Latin “fuga” berarti  “pelarian diri”.

Kamis, 02 Januari 2014

Musikalisasi Puisi Percakapan dalam Lumpur

Video ini adalah musikalisasi puisi saya berjudul 'Percakapan dalm Lumpur' yang digubah oleh kelompok musik Sarasvati asal Bandung. Gubahan ini sempat ditampilkan dalam ajang Bienalle Sastra Salihara bertajuk 'Sirkus Sastra' di Komunitas Salihara Jakarta pada Oktober 2013.






Percakapan dalam Lumpur


ketika badai hujan menerpa, kau tak perlu sembunyi, tak perlu menggali, hujan tak akan menggedor dengan lembing gelegarnya di atas genting, pintu, dan jendela, bukankah tak ada itu semua di rumah, hujan hanya merembes dan mengusap, seperti sapu tangan yang menyesap keringat dan sisa isak, kau tak perlu berteduh, tak perlu, matahari selepas badai tak akan mampu membakarmu, lengan apinya tak akan mencapaimu, dia akan padam dibiakkan rerumput dan bebatuan, hanya menguapkan bebintik lembab jadi hangat, seperti pelukan, tapi mengapa kami tak bisa melihat apa-apa, ibu, apakah mata kami buta, ataukah dunia gelap gulita, pandangan bisa menipu, bisa menipu, dengarlah: bulan hitam menggelinding dihembus angin, beburung berayunan di bebayang rimbun pohonan, kami tak lagi bisa mendengar, ibu, seluruh suara telah kehilangan telinga, dengarlah dengan pikiranmu, dengan pikiranmu dengarlah: bulan hitam menggelinding dihembus angin, beburung berayunan di bebayang  rimbun pohonan, pikiran, dimana pikiran kami, ibu, dimana kami temukan pikiran, mata yang tak melihat, telinga yang tak mendengar, ini kelapa bukan kepala, ibu, dunia ini tak seperti dunia itu, dengarlah dengan pikiranmu jangan dengar pikiranmu dan lihatlah dunia baru di mana bulan hitam menggelinding dihembus angin, burung berayunan di bebayang rimbun pohonan 

Musikalisasi Puisi Di Muka Candi

Musikalisasi puisi saya berjudul 'Di Muka Candi' gubahan kelompok Splendid Dialog asal Malang.Gubahan ini sempat dipanggungakn di Gedung Cak Durasim Surabaya 23 Desember 2013 dalam acara peluncuran buku pilihan Dewan Kesenian Jawa Timur. Salah satu buku pilihan itu ialah himpunan puisi saya 'Tanggulendut'. 




Di Muka Candi

mendung kian tebal tapi kemarau kian panjang, lumpur tak kenyal tak jua mengkal, bharada, kendimu telah pecah, garis airmu meliar tak tentu arah, membuat peta tak lagi terbaca, kertapati, sang kilisuci yang lahir kembali, mengapa masih ada goda dari kesunyian goa garba, bukankah langit dan bumi tak bisa dipisah, tak bisa dipegang berat sebelah dan kalian paranata, mengapa hanya terdiam mendengar jerit sejarah, lihatlah, bandul itu telah menemu titik awalnya, tangis tumpah