Kamis, 02 Januari 2014

Musikalisasi Puisi Percakapan dalam Lumpur

Video ini adalah musikalisasi puisi saya berjudul 'Percakapan dalm Lumpur' yang digubah oleh kelompok musik Sarasvati asal Bandung. Gubahan ini sempat ditampilkan dalam ajang Bienalle Sastra Salihara bertajuk 'Sirkus Sastra' di Komunitas Salihara Jakarta pada Oktober 2013.






Percakapan dalam Lumpur


ketika badai hujan menerpa, kau tak perlu sembunyi, tak perlu menggali, hujan tak akan menggedor dengan lembing gelegarnya di atas genting, pintu, dan jendela, bukankah tak ada itu semua di rumah, hujan hanya merembes dan mengusap, seperti sapu tangan yang menyesap keringat dan sisa isak, kau tak perlu berteduh, tak perlu, matahari selepas badai tak akan mampu membakarmu, lengan apinya tak akan mencapaimu, dia akan padam dibiakkan rerumput dan bebatuan, hanya menguapkan bebintik lembab jadi hangat, seperti pelukan, tapi mengapa kami tak bisa melihat apa-apa, ibu, apakah mata kami buta, ataukah dunia gelap gulita, pandangan bisa menipu, bisa menipu, dengarlah: bulan hitam menggelinding dihembus angin, beburung berayunan di bebayang rimbun pohonan, kami tak lagi bisa mendengar, ibu, seluruh suara telah kehilangan telinga, dengarlah dengan pikiranmu, dengan pikiranmu dengarlah: bulan hitam menggelinding dihembus angin, beburung berayunan di bebayang  rimbun pohonan, pikiran, dimana pikiran kami, ibu, dimana kami temukan pikiran, mata yang tak melihat, telinga yang tak mendengar, ini kelapa bukan kepala, ibu, dunia ini tak seperti dunia itu, dengarlah dengan pikiranmu jangan dengar pikiranmu dan lihatlah dunia baru di mana bulan hitam menggelinding dihembus angin, burung berayunan di bebayang rimbun pohonan 

Musikalisasi Puisi Di Muka Candi

Musikalisasi puisi saya berjudul 'Di Muka Candi' gubahan kelompok Splendid Dialog asal Malang.Gubahan ini sempat dipanggungakn di Gedung Cak Durasim Surabaya 23 Desember 2013 dalam acara peluncuran buku pilihan Dewan Kesenian Jawa Timur. Salah satu buku pilihan itu ialah himpunan puisi saya 'Tanggulendut'. 




Di Muka Candi

mendung kian tebal tapi kemarau kian panjang, lumpur tak kenyal tak jua mengkal, bharada, kendimu telah pecah, garis airmu meliar tak tentu arah, membuat peta tak lagi terbaca, kertapati, sang kilisuci yang lahir kembali, mengapa masih ada goda dari kesunyian goa garba, bukankah langit dan bumi tak bisa dipisah, tak bisa dipegang berat sebelah dan kalian paranata, mengapa hanya terdiam mendengar jerit sejarah, lihatlah, bandul itu telah menemu titik awalnya, tangis tumpah