PUISI,
EKSPRESI ESTETIK, DAN RUH BUDAYA JAWA TIMUR
Dalam Sayembara Penulisan
Puisi Tahun 2015 ini, setelah melalui proses pendataan administratif pada
Komite Sastra Dewan Kesenian Jawa Timur (DKJT), ada enam belas manuskrip
kumpulan puisi yang kami terima, dan siap untuk diseleksi dan ditentukan
pemenang terbaiknya. Juri Sayembara Penulisan Puisi terdiri atas Tjahjono
Widarmanto, Nanang Suryadi, dan I. B. Putera Manuaba. Berdasarkan data yang
ada, para penyair yang ikut sayembara berasal dari berbagai daerah di Jawa
Timur, dan mereka semua relatif masih berumur muda. Penyair Bangkalan dan juga Malang
adalah yang paling banyak mengikuti sayembara dalam tahun ini. Ini prestasi
yang cukup membanggakan dilihat dari kuantitas produktivitas karya puisi.
Geliat kreativitas puisi penyair dari dua daerah
itu sangat potensial. Kendati memang realitas teks puisinya cenderung masih dalam
proses meniti menuju kematangannya. Ke depan kami harapkan tumbuh menjadi
penyair-penyair yang handal. Selain dua daerah itu, ada juga penyair dari
Gresik, Lamongan, Situbondo, Sumenep, Banyuangi, dan Sidoarjo. Semua daerah
yang disebut itu menjadi “kantong-kantong” penyair muda Jawa Timur, yang tentu
saja ke depan kami harapkan terus berproses menuju kematangan puisi-puisinya.
Secara keseluruhan dapat
kami beri catatan, manuskrip kumpulan puisi yang dapat diikutkan dalam
Sayembara Penulisan Puisi ini mensyaratkan karya-karya yang baru. Dalam arti,
karya-karya puisi belum pernah dipublikasi dalam buku kumpulan puisi. Secara
umum juga dapat kami katakan, dari hasil proses pembacaan, keberadaan manuskrip
karya-karya puisi yang ada memang sangat variatif dilihat dari tingkat proses
kreatifnya. Kendati tidak disertakan proses kreatifnya dalam manuskrip, namun
melalui puisi-puisi yang ada kami dapat menyimak bagaimana tingkat proses kreatif
dari para penyair yang ikut sayembara ini. Proses kreatif mereka memang sangat
bervariasi, ada yang dari baru berproses menulis puisi sampai yang sudah sering
teruji dalam publikasi media.
Pengalaman berkarya (menulis puisi), keseringan
mengasah menulis puisi, memang kentara dan mewarnai dalam kualitas puisi-puisi
para penyair yang ikut sayembara. Bagi yang baru menulis, banyak yang masih
baru dalam taraf mencari bentuk puisi, masih perlu memperbaiki bahasa puisi,
dan sampai pada bagaimana harus mengekspresikan puisinya. Pada penyair yang
cukup berpengalaman, memang tampak sudah tak terkendala dalam penulisan puisi.
Sebagian penyair ini sudah begitu lihai, sudah memiliki infrastruktur menulis
puisi, sehingga ia tinggal mematangkan dan memfokus puisinya pada pendalaman
temanya.
Apabila kami cermati dari keikutsertaan penyair
dalam sayembara tahun ini, peta kepenyairan di Jawa Timur ke depan tampak
sangat menjanjikan. Jawa Timur tampak tidak kering dari penulisan puisi.
Tinggal bagaimana menggodok menuju kualitas kematangannya. Untuk itu, tentunya
perlu ada tradisi kontinyuitas berkarya, yang tidak pupus, dan dengan tetap
membarakan api semangat berkarya. Bukankah sebuah kota yang berperadaban, akan
ditandai dengan hadirnya karya sastra para sastrawan?
Kemudian, berkait dengan
proses seleksi, dalam seleksi Sayembara Penulisan Puisi tahun ini, ada dua
kriteria utama yang digunakan sebagai dasar seleksi untuk nenentukan pemenang manuskrip
Sayembara Penulisan Puisi terbaik oleh Dewan Juri, yakni: pertama,
teknik penyajian yang total-utuh-koheren tentang karya puisi; dan kedua, tema utama puisi dalam tahun ini
yakni tentang budaya Jawa Timur. Atau, dalam bahasa yang teoretis, bisa juga
dikatakan, penjurian dilihat dari: kualitas estetik dan ekstraestetiknya.
Berdasar atas dua kriteria
utama tersebut, manuskrip kumpulan puisi yang dipandang paling memenuhi kriteria
utama itu adalah manuskrip kumpulan puisi berjudul “Playon” karya F. Aziz
Manna. Dalam penentuan manuskrip “Playon” sebagai karya terbaik, kami tidak
memerlukan perdebatan yang panjang, pertemuannya sangat singkat. Oleh karena,
ketika kami bertemu untuk merapatkan pemenang sayembara pada Selasa 17 November
2015, masing-masing juri sudah membawa dan menentukan nama yang sudah persis
sama berdasarkan hasil pembacaan atas seluruh manuskrip kumpulan puisi yang
masuk dan diterima masing-masing juri. Kami, tiga juri, sepakat memilih
“Playon” sebagai karya terbaik. Ini pengalaman menjuri yang sangat istimewa, sebagai
sebuah penilaian yang sangat objektif. Sebab, kami (ketiga juri), memiliki
penilaian yang sama. Hasil penjurian yang merekomendasi “Playon” sebagai pemenang
seleksi Sayembara Penulisan Puisi, kemudian diputuskan oleh Dewan Kesenian Jawa
Timur sebagai pemenang Sayembara Menulis Puisi untuk tahun ini.
Manuskrip kumpulan puisi
“Playon” karya F. Aziz Manna memiliki kualitas terbaik di antara manuskrip-manuskrip
kumpulan puisi yang baik lainnya. Manuskrip kumpulan puisi “Playon” ini
kebetulan ditulis oleh penyair yang memang sudah memiliki banyak pengalaman menulis
puisi, jam terbang yang banyak dalam menulis puisi. Penyair yang lahir di
Sidoarjo pada 8 Desember 1978 dan kini tinggal di Sidoarjo ini, memulai debut
kepenyairannya ketika ia bergabung dan aktif di komunitas Teater GAPUS
Unair dan Forum Studi Sastra dan Seni Luar Pagar (FS3LP). Karya-karyanya terkumpul
dalam Antologi Penyair Jawa Timur "Permohonan
Hijau" (Festival Seni Surabaya, 2003-2004), Antologi Penyair Tiga Wilayah “Festival Mei”
(Forum Sastra Bandung dan Institut Nalar Jatinangor, 2005), Rumah Pasir (Festival Seni Surabaya
2008), Lelaki Tak Bernama (Dewan
Kesenian Lamongan, 2008), “What`s Poetry”
Forum Penyair Internasional Indonesia
(Henk Publica, 2012), "Sirkus Sastra" Bienalle Sastra Salihara, 2013, “Tasbih Hijau Bumi” (Lesbumi NU
Jawa Timur), serta “Tiang Tegak Toleransi” (Dinas Pendidikan dan Kebudayaan
Nusa Tenggara Timur, 2015). Beberapa buku puisi tunggalnya seperti Kumelambungkan Cintaku (GAPUS, 2003),
"Izinkan Aku Menciummu" (Gapus, 2006), Wong Kam Pung (FSS 2010), Siti
Surabaya dan kisah Para Pendatang (Diamond Publishing 2010), Tanggulendut (Satu Kata, 2013), serta Siti Surabaya: Sebuah Puisi Epik
(Garudhawaca, 2014).
Teknik penyajian puisi (estetik karya) yang
digunakan dalam 54 puisi yang terhimpun dalam
kumpulan puisi “Playon” ini, kami nilai telah disajikan dengan matang.
Ini mungkin karena penyair sudah sangat terbiasa dan terasah menulis puisi.
Manna seperti sudah tak terkendala lagi dengan soal bahasa puisi, pemilihan
diksi, dan penataan tipografi puisi. Puisi-puisinya memang menggunakan
penyajian gaya esai, namun puisi-puisinya terasa tetap mempertahankan kepuitisannya,
tak keluar dari hakikatnya sebagai karya puisi. Judul-judul puisi yang
rata-rata singkat, tampak menjadi diksi-diksi yang diakrabinya.
Kendati dirangkai dalam bentuk esai, puisi-puisi
yang terhimpun dalam “Playon” ini, antara baris yang satu dengan yang lainnya, juga
masih koheren. Bahkan, terkadang Manna menyelipkan larik kunci yang sarat
pesan, misalnya dapat disimak dalam salah satu bagian petikan teks berjudul
“Jumpritan”: /kami yang lengah dan
menyerah jadi santapan setan//.
Satu hal yang juga jadi perhatian, dalam
keseluruhan puisi, tak ditemui ada kesalahan penulisan bahasa, dan juga tidak
ada teknik atau penanda apa pun yang dihadirkan tak beralasan. Semua tampak
padu dan utuh sebagai sebuah puisi yang matang itu tadi. Kata-kata, diksi, dan
frase yang digunakan, tampak sangat lekat dan mendukung ekspresinya. Tak nampak
ada kata yang mubazir, dan juga kata-kata sepertinya dipilih sesuai dengan
intensitas makna kata yang diinginkan sehingga sangat mendukung estetika
karyanya.
Permainan gaya bahasanya juga variatif, membuat
puisi hadir cukup memikat. Untaian kata-kata yang ada dalam puisi-puisi Manna
sangat mengalir, beberapa puisinya ibarat alunan dendang musik yang multiinterpretatif.
Ini dapat disimak misalnya pada salah satu cuplikan bagian puisi “Ngupil”: /serupa arkeolog muda penuh gairah aku
disengat goda, ditantang tualang. dinding-dinding berlendir dan licin. debu dan
angin. melecut nyali ciut. cakar kekar, singkal dempal, titis sigap beradu
tepat//.
Puisi-puisi yang ditulis Manna ini juga tampak
sangat kaya dengan metafora, yang membuat puisi menjadi lebih hidup dan tidak
vulgar dalam menyampaikan pesan atau mengekspresikan ruh budaya. Bahkan, hampir
dalam keseluruhan puisinya Manna dengan cekatan memainkan metafora itu secara
proporsional, sehingga puisi terasa lebih bertenaga dan tentu menyembunyikan
banyak makna. Tidak hanya metafora, puisi-puisinya juga diwarnai
analogi-analogi yang mendukung, yang juga sama-sama berfungsi menghidupkan
puisi, dan menjadikan puisi terasa estetis.
Teknik penyajian puisi lainya yang kemudian
membuat puisi ini menjadi unggul, karena Manna mampu menata puisi-puisinya
dalam komposisi yang memperlihatkan bagaimana budaya itu dari waktu ke waktu. Kalau
disimak dari kelompok puisi bagian pertama hingga keempat, nampak ditata sesuai
dengan perkembangan waktu (zaman). Dalam arti, membaca kelompok puisi ini,
pembaca seperti diajak mengenali budaya Jawa Timuran dari sisi yang tradisional
(rural culture) sampai sisi yang
perkotaan (urban culture). Apabila
kelompok puisi pertama dan kedua sangat kental dengan permainan budaya tradisi,
bagian ketiga dan keempat terasa masuk
pada budaya urban. Manna mencoba menggambarkan seluruh permainan budaya Jawa
Timur seperti itu dan sekaligus mewarnainya dengan ruh budayanya.
Di dalam puisi-puisinya, Manna banyak mengungkap
permainan tradisional budaya Jawa Timur. Manna seperti mengajak pembaca untuk
masuk ke alam tradisi dan sekaligus mengikuti dinamikanya sampai ke permainan
masyarakat urban. Ruh budaya Jawa Timur disajikan dengan halus, terbungkus
dalam diksi-diksi yang menyiratkan permainan budaya Jawa Timur, dan diekspresikan
dalam untaian bait-bait puisi yang disusun dengan gaya esai. Budaya Jawa Timur
begitu bebas diungkap dalam puisi-puisinya, sebebas permainan tradisi itu
dimainkan. Manna cukup mampu menyelami budaya Jawa timur dari tradisi hingga ke
urban. Kehadiran puisi-puisi yang mengungkap tentang permainan budaya Jawa
Timur ini jadi menarik di tengah realitas masyarakat saat ini.
Di tengah arus globalisasi sekarang ini, yang
dibanjiri dengan permainan global, puisi-puisi ini seperti kembali hadir dari
pengasingannya dan memperkenalkan kekayaan budaya yang telah lama tak
terperhatikan dan mungkin tak banyak dikenali lagi--terutama oleh anak-anak
sekarang. Begitu banyak permainan yang kita miliki namun tak pernah pula diakrabi
lagi oleh anak-anak kita. Puisi-puisi Manna yang mengangkat satu kekayaan budaya
permainan budaya Jawa Timur ini, menjadi penting artinya. Permainan tradisional
dalam budaya Jawa Timur, menyimpan banyak nilai hidup, pesan moral, dan juga
manfaat bagi tumbuh-kembangnya generasi masyarakat yang berbasis nilai kearifan
lokal.
Dilihat dari judul-judul puisi karya Manna, yang
diambil dari diksi-diksi budaya Jawa Timur, sebagian besar kata-kata yang
digunakan dalam “Playon” ini mungkin terasa asing di telinga anak-anak sekarang. Di antaranya ada kata-kata:
“Jumpritan”, “Paku”, “Ngupil”, “Contong Bolong”, “Petak Umpet”, “Tuding”,
“Dadu”, “Kekean”, “Jahit”, “Dongeng Kancil Lumajang”, “Pawon”, “Layangan”,
“Jengkah”, “Playon”, “Cacingan”, “Suket Tarung”, “Balon”, “Endog-endogan”, “Mimis
Ketapel”, “Sinau”, “Cubling-cublingan”, “Pasara”, “Remian”, “Bendan”, “Lompat
Tali”, “Enthung Uler Jedung”, “Telepon Kaleng”, “Pikatan”, “Kitiran”, “Jaran
Debok”, “Ngasak”, “Bakar Sampah”, “Keret”, “Luncur”, “Ngaso”, “Matung”, “Nyethe”,
“Ngopi”, “Kopi Walik”, “Petan”, “Piatu”, “Kambangan”, “Ziaroh”, “Oncoran”, “Merconan”,
“Mungar”, “Kerokan”, “Nyuci”, “Engkle”, “Gapangan”, “Kothekan”, “Kidung Kudang”.
Penyair Manna nampak sengaja
memunculkan nama-nama itu. Semua nama-nama (permainan) budaya Jawa Timuran itu,
perlu dikenali, karena di dalamnya
tersimpan kearifan budaya, yang perlu diinternalisasi oleh anak-anak untuk
membangun kepribadian yang berbudaya.
Kehadiran puisi-puisi yang mengungkap roh budaya (permainan)
budaya Jawa Timur ini jadi penting kalau dikaitkan dengan gerakan dan semangat
pelestarian budaya. Anak-anak tidak hanya harus mengenali, tetapi juga
mengakrabi budayanya, agar mereka benar-benar tumbuh dari akar budayanya,
sehingga mereka memiliki landasan budaya yang kuat. Jangan sampai pemilik
budaya menjadi asing dengan budayanya sendiri.
Sebagai akhir dari catatan ini, kami (Dewan Juri) berharap
semoga kreativitas menulis puisi para penyair tidak terhenti dalam batas hanya pada
mengikuti Sayembara Penulisan Puisi. Menulis puisi agar dijadikan sebagai suatu
kewajiban pada diri penyair. Namun demikian, sayembara tentu saja juga sangat penting
artinya dan perlu dilakukan setiap tahun karena dapat menstimulus lahirnya
penyair-penyair baru dan sekaligus memberi kesempatan untuk menampilkan
karya-karya terbaiknya. Sebagai penyair, ia perlu memiliki kepedulian, dan mau melibatkan
diri dalam masyarakat dan budayanya. Penyair juga memiliki tanggung jawab moral
dalam menyelami kehidupan, melakukan kontemplasi atas kehidupan, menyuarakan
kebenaran, dan turut berperan serta dalam menyumbangkan karya kreatifnya guna
memberi pencerahan hidup secara terus-menerus kepada masyarakat. Semoga ke
depan lahir karya-karya puisi yang semakin berkualitas dan bermanfaat.
Juri Sayembara
Penulisan Puisi
I. B. Putera
Manuaba
Ketua
Tidak ada komentar:
Posting Komentar